Sejarah Ilmu Forensic dan Forensik Digital
Sejarah keberadaan Ilmu forensik menurut beberapa literatur sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Dalam perkembangannya ilmu forensik mulai terpecah-pecah menjadi beberapa disiplin ilmu, diantaranya adalah disiplin ilmu forensik digital, beberapa cabang disiplin ilmu forensik lainya adalah kedokteran forensik, ilmu fisika forensik, ilmu kimia forensik, ilmu toksikologi forensik, dan sebagainya.
Forensic Science
Dalam tulisannya, Jens Olsson memaparkan tentang sejarah ilmu forensik :
The forensic science begun around year 250 BC when Archimedes proved that a crown that was claimed to be of pure gold was in fact not entirely made of gold, he did this without damaging the crown.
Jens Olsson mengatakan bahwa ilmu forensik atau praktek forensik sendiri sudah ada sejak 250 tahun sebelum masehi, dimana ketika itu Archimedes melakukan pembuktian terhadap mahkota yang sebelumnya di sangka berbahan emas murni ternyata tidak demikian memlalui pembuktiannya.
Dari berbagai literatur dapat dikatakan forensik secara umum adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses pengungkapan suatu peristiwa untuk penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains. Dalam kelompok ilmu-ilmu forensik ini dikenal antara lain ilmu kedokteran forensik, komputer forensik, ilmu fisika forensik, ilmu kimia forensik, ilmu toksikologi forensik, dan sebagainya.
Ilmu forensik adalah ilmu yang mempelajari benda-benda yang berhubungan dengan kejahatan. Benda-benda ini dinamakan barang bukti. Para ilmuwan forensik mempelajari barang bukti supaya bisa dijadikan sebagai bukti dalam persidangan. Istilah forensik berarti : “dapat dipakai dalam persidangan hukum.” Saat menganalisis barang bukti, para ilmuwan forensik melakukan kegiatan-kegiatan yang sama seperti yang dilakukan para ilmuwan lain: mereka mengamati, menggolongkan, membandingkan, menggunakan angka, mengukur, memperkirakan, menafsirkan data, dan kemudian menarik kesimpulan yang masuk akal berdasarkan barang bukti yang ada. Ilmu forensik bersifat aktif dan tak kenal lelah. Ilmu ini menyelidiki secara tuntas.
Ilmuwan forensik bisa saja seorang petugas kepolisiaan atau detektif. Polisi yang secara khusus bertanggung jawab menyelidiki kejahatan-kejahatan serius. Ilmuwan forensik bisa juga anggota-anggota dari laboratorium forensik negara, daerah, atau kota yang bekerja sama dengan polisi dan detektif. Beberapa ilmuwan forensik memiliki latar belakang dalam bidang kriminologi, yaitu ilmu tentang kejahatan. Ilmuwan forensik lainnya mengkhususkan diri dalam bidang patologi (ilmu tentang penyebab–penyebab kematian dan penyakit), kimia, biologi, kedokteran gigi, psikiatri, psikologi, atau teknik.
Sebagian besar ilmuwan forensik memiliki ijazah ilmu kriminologi atau bidang spesialisasi lainnya, seorang ilmuwan forensik dapat juga bekerja di jurusan biologi, kimia, antropologi atau kriminologi di universitas, dan dipanggil untuk bekerja sama dengan departemen kepolisian atau laboratorium forensik setempat jika diperlukan.
Digital Forensik
Pengertian Digital Forensik menurut beberapa literatur, diataranya yang disampaikan oleh (Clint, Reith, Carr, & Gunsch, 2002) dalam Jurnal Internasionalnya, bahwa yang dimaksud dengan digital forensik :
Digital forensics is a relatively new science. Derived as a synonym for computer forensics, its definition has expanded to include the forensics of all digital technology. Whereas computer forensics is defined as “the collection of techniques and tools used to find evidence in a computer”, digital forensics has been defined as “the use of scientifically derived and proven methods toward the preservation, collection, validation, identification, analysis, interpretation, documentation, and presentation of digital evidence derived from digital sources for the purpose of facilitation or furthering the reconstruction of events found to be criminal, or helping to anticipate unauthorized actions shown to be disruptive to planned operations”. Digital forensics has become prevalent because law enforcement recognizes that modern day life includes a variety of digital devices that can be exploited for criminal activity, not just computer systems. While computer forensics tends to focus on specific methods for extracting evidence from a particular platform, digital forensics must be modeled such that it can encompass all types of digital devices, including future digital technologies.
Sedangkan menurut (Sinambela, 2011) , yang dimaksud dengan digital forensik adalah Proses ilmiah dalam melakukan penemuan, pencarian, analisis dan pengumpulan barang bukti dari suatu sistem komputer dengan sebuah standard dan dokumentasi tertentu untuk dapat diajukan sebagai bukti hukum yang sah
Masih Dalam tulisannya Jens Olsson memaparkan tentang sejarah komputer forensik :
Digital forensics by contrast is quite a newcomer and begun around 1970 when students at universities in protest destroyed some computers [2]. Simultaneously people begun to gain unauthorized access to mainframes (large computers serving many people). At the time computer crimes were hard to solve because existing laws did not seem applicable on them [2]. Today computers are involved in many crimes. Information technology is actively used by criminals to keep records, communicate and committing crime. It has even occurred that criminals have gained remote access to court computers and changed their criminal records [2]. Computer forensics is also getting useful in non-technical crimes. Since many people own a computer today, chances are vast that evidence for traditional crimes, for example a murderer or theft, can be found on a computer somewhere, maybe with the victim or the accused. Maybe the criminal has spoken to friends about it on instant messaging or via e-mail? Maybe the accused have talked to the victim over the Internet before the crime?.
Dikatakan oleh Jens Olsson, bahwa Digital Forensik merupakan pendatang baru dalam dunia forensik hal ini karena digital forensik baru ada sekitar tahun 1970-an, ketika Mahasiswa Universitas melakukan protes dengan menghancurkan komputer, dalam waktu bersamaan juga orang-orang mulai berusaha mengakses masuk ke komputer secara ilegal atau tanpa hak akses.
Seiring berjalannya waktu, barang bukti hasil digital forensik mulai dapat diterima sebagai barang bukti yang bisa digunakan dalam persidangan, barang bukti yang berasal dari komputer telah muncul dalam persidangan hampir 30 tahun. Awalnya, hakim menerima bukti tersebut tanpa melakukan pembedaan dengan bentuk bukti lainnya.
Seiring dengan kemajuan teknologi komputer, perlakuan serupa dengan bukti tradisional akhirnya menjadi bermasalah. Bukti-bukti komputer mulai masuk kedalam dokumen resmi hukum lewat US Federal Rules of Evidence pada tahun 1976. Selanjutnya dengan berbagai perkembangan yang terjadi muncul beberapa dokumen hukum lainnya, antara lain adalah:
The Electronic Communications Privacy Act 1986, berkaitan dengan penyadapan peralatan elektronik. The Computer Security Act 1987 (Public Law 100-235), berkaitan dengan keamanan system komputer pemerintahan. Economic Espionage Act 1996, berhubungan dengan pencurian rahasia dagang.
Pembuktian dalam dunia maya memiliki karakteristik tersendiri. Hal ini dikarenakan sifat alami dari teknologi komputer memungkinkan pelaku kejahatan untuk menyembunyikan jejaknya. Karena itulah salah satu upaya untuk mengungkap kejahatan komputer adalah lewat pengujian sistem dengan peran sebagai seorang detektif dan bukannya sebagai seorang user. Kejahatan computer (cybercrime) tidak mengenal batas geografis, aktivitas ini bisa dilakukan dari jarak dekat, ataupun dari jarak ribuan kilometer dengan hasil yang serupa. Penjahat biasanya selangkah lebih maju dari penegak hukum, dalam melindungi diri dan menghancurkan barang bukti. Untuk itu tugas ahli digital forensik untuk menegakkan hukum dengan mengamankan barang bukti, rekonstruksi kejahatan, dan menjamin jika bukti yang dikumpulkan itu akan berguna di persidangan.
DAFTAR PUSTAKA
-
Jen Olsson, 2008, Computer Forensics Digital Evidence with Emphasis on Time, Department of Computer Science School of Engineering Blekinge Institute of Technology Box 520 SE – 372 25 Ronneby Sweden
-
Sinambela, J. M. (2011). Computer Forensic, (November), 1–23.